Sunday, February 5, 2017

DioramaKu (Bagian Satu)


"Aku mencarimu diujung batas senja. Menantimu hingga bersandar pada gerbong kereta tua. luluh lantak. Mendayu dalam angan. Tapi aku tak pernah berhenti, hingga batu nisan ini terukir atas nama cinta."
*
Sore itu, magenta merona di lengkung langit jawa. Ihwan baru saja usai memberi makan merpatinya. Sekilas tak begitu jelas, namun mega mendung tiba-tiba saja bergerak cepat mengusai langit, dan menghitam.
“Apa yang terjadi?” Tanya ihwan dalam hati
Semilir angin bertautan dengan dedaunan tua, berguguran menerpa wajah. Pupus menghela malam, ditenggelamkan oleh hujan. Ihwan teringat, pertama kali ia mengenalnya. Tanpa akrab. Namun ada senyum terlukis indah dalam bingkai rupa itu.

Setiap pagi aku selalu menerka. Apa yang kelak dikisahkan waktu selain keriuhan hari dan lembaran catatan yang akhirnya jadi kenangan.
-yossy-

Ihwan menatap sajak sang pujangga yang tengah aktif di media sosialnya. Ia kemudian menerka. Mungkinkah pujangga itu merasakan apa yang ia rasa?. Entahlah. namun hening terus saja berucap. Ini masih menjadi rahasia.
“Hai wan,, apa yang kau lakukan ditanah lapang ini dalam hujan? pulanglah. Ibu menunggumu dirumah,” Teriak sosok lelaki bertubuh jakung dari kejauhan. Lelaki itu menyodori payung hitamnya. Sebuah payung yang kerap kali digunakan semenjak kepergian wanita yang ia cintai. Jelaslah disana. Sebuah kalimat cinta dibaliknya. Menunjukkan rasa bersalah pada hari kematian itu.
-Diandra, aku mencintaimu. Dan akan tetap mencintaimu. Maafkan aku -
Hingga saat ini ihwan tak berani bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi seringkali rasa penasaran ini menimpali. Hingga akhirnya mencoba memberanikan diri.
“Mas, apa engkau masih mencintai diandra?” tanya ihwan memulai pembicaraan.
Hujan mengguyur kian deras. Menyembunyikan linangan air mata yang terus saja bersembunyi dari sosok tegar itu.
“Aku minta maaf mas. Aku tak bermaksud. Kalau mas tidak ingin mengatakannya, tidak apa. Aku yang salah” timpal ihwan.
“Aku mencintainya, dan masih akan tetap mencintainya. Diandra. Yah diandra. Aku mengenalnya dalam diam. Dan berpisah lewat kesunyian......”
Ihwan menatap lekat wajah itu. wajah yang selama ini dilihatnya selalu ceria, begitu saja berubah menjadi kelam.
“Aku menyesal, wan. aku menyesaaal. Maafkan aku diandraaaaa“ Teriaknya di sambut riuhnya angin. Tubuhnya pun tergeletak, meratapi tanah. Hitampun Menyergap. Lalu tak sadarkan diri.
“Mas, Sadar mas....” Ihwan mengguncang tubuh lelaki itu. Tapi tak jua mendapati jawaban. Gusar rasanya hati ihwan. Mengapa ia mencoba menanyakan hal yang tak seharusnya dipertanyakan. Hujan pun berhenti perlahan. Ihwan kemudian membopong lelaki itu kembali ke rumah.
Disepanjang perjalanan pulang, semua menatap. Apa yang terjadi? Apa dia kembali pada masa yang lalu? riuh pertanyaan itu memanah. Oh tidak. ihwan mulai kesal. Pertanyaan macam apa itu!. Tak seharusnya orang-orang menatap seperti itu. Ihwan berusaha tak mendengarnya. Berlari dengan segera menuju rumah. Semoga ketenangan segera ia dapatkan disana.
“Apa yang terjadi dengan masmu wan? kenapa ia seperti ini?”. Sosok wanita setengah renta terkejut melihat kepulangan mereka di teras rumah. Wajah ihwan yang lesu dan masnya yang terkapar dalam pangkuan, menambah rasa panik wanita itu. Ihwan bergegas masuk kedalam rumah. Mengambil handuk dan minyak kayu putih untuk mengeringkan dan menghangatkan tubuh Masnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi, wan?”, pertanyaan itu kembali muncul dari wanita itu.
“Tidak kenapa bu. Mungkin tadi mas begitu lelah. Ibu kan tahu kalau mas baru saja tiba dari luar kota. Atau mungkin dia tadi lupa makan, bu”. Ihwan berharap kalimat itu mengurangi kecemasan ibunya.
“Yah, mungkin saja wan. Ibu tidak ingin terjadi apa-apa dengan masmu. Tadi selepas sholat ashar masmu menanyakanmu pada ibu. Katanya ia ingin bicara. Mungkin itu yang membuatnya seperti ini. Ia lupa makan seperti katamu”
Ihwan menghela nafas. Syukurlah ibunya percaya dengan kalimatnya barusan. Kembali ihwan membopong masnya ke kamar. Ibunya mengikuti dari belakang. Sementara dari balik gorden dapur, sepasang mata bola mengintip dari kejauhan.
“Apa yang kamu lakukan disitu, ningsih?”
“Mas danu kenapa bu? Ningsih takut terjadi apa-apa dengan mas. Padahal mas danu baru saja tiba dari kota. Ningsih masih rindu bu,” ucap ningsih dengan lirih.
“Masmu tidak kenapa, ning. Kalau kamu masih rindu, ayo sana rawat masmu. Buatkan ia bubur kesukaannya”
“Baik bu.. Ningsih akan buatkan”. Adzan mulai berkumandang. Bersautan dengan derap langkah kaki warga menuju mesjid.
“Mas ihwan tidak ikut ke mesjid?” tanya ningsih, usai menyiapkan bubur kesukaan mas danu.
“Mas dirumah saja dulu sholatnya. Kalau ning mau ke mesjid, pergilah. Mas ihwan akan jaga mas danu disini”
“Baiklah mas, ning pergi dulu bersama ibu. Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam. Hati-hati dijalan ning” ucap ihwan.
Ihwan kembali menatap mas danu yang terbaring lemah. Wajahnya mengguratkan kesedihan yang amat dalam.
“Aku permisi dulu mas. Mau sholat, mendoakan mas. Semoga setelah ini, mas bisa segera membaik”. bisik ihwan ditelinga masnya. Mungkin saja Mas danu tak mendengarnya. Tapi ihwan yakin. Hati masnya akan turut merasakan.
Malam itu dipenuhi dengan lantunan ayat suci dari ihwan. Suaranya menggema, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Allah maha besar atas segala sesuatu. Maha pengasih dan penyayang. Ia tak akan memberikan cobaan kepada hambanya diluar batas kemampuan.
Jemari Mas danu bergerak perlahan. Ihwan memberhentikan bacaannya. Sungguh, Maha benar Allah atas segala firmannya. Ihwan mendekatinya perlahan. Terdengar lirih masnya memanggil nama diandra. Mata yang terpejam, kini perlahan terbuka.
“Wan, diandra wan...” Kembali kata itu terucap.
“Mas.. Berhentilah untuk mengingatnya. Dia telah pergi. Kosongkanlah hatimu. Serahkan semuanya pada Allah. Pasti ia tak menginginkan Mas menderita seperti ini,” Hanya kalimat itu yang mampu dikeluarkan ihwan. Memang berat rasanya. Tapi masnya akan semakin larut bila terus dibiarkan begitu saja. Linangan airmata itu tak bisa terbendung. Suara yang ditahannya kini semakin mengeras.
“Aku tidak bisa wan... Tidak bisaaaaaa. Aku Masih bersalah padanya.....!!!!!”
Mas danu memecahkan Vas bunga diatas meja dekat tempat tidurnya. Ia meringkih. Pecahan vas itu diambilnya, lalu dilayangkan ditangannya.
“MAS ! APA YANG KAU LAKUKAN? BERHENTI !!! ITU DOSA!!!!
Mas danu tak menghiraukan perkataan ihwan. Ia mencoba bunuh diri...

 ***
Tubuhku beku. Rasanya tinggal nafas satu persatu tertahan diantara malam yang dingin dan kaku. Bertahan hingga membiru. Aku tersayat ribuan sembilu.
-yossy-

Ihwan menatap layar ponselnya. Sebuah status dari pujangga tampak menghiasi beranda facebooknya. Entahlah. Pagi ini sepertinya membuatnya benar-benar beku. Mas danu, terbaring lemah di pembaringan rumah sakit. Sejak semalam hati ihwan benar-benar tak karuan.
“Apa yang dipikirkan mas danu? Kenapa perempuan itu bisa membuatnya sebegitu bersalah dan menderita ?!. Ya Allah. Apa yang terjadi” Ihwan tak hentinya memukuli dinding rumah sakit. Tak begitu keras. Sebab yang keras kali ini adalah hatinya.
Sementara itu, ningsih dan ibunya hanya menangis tersedu dirumah. Ibu bisa saja menangis sekencang-kencangnya. Namun ihwan melarangnya.
“Ini tak boleh diketahui warga bu. Apa yang akan mereka katakan nanti. Pasti mas danu akan jadi bulan-bulanan di kampung ini. Ibu mengerti kan?” kata ihwan sebelum tergesa menuju rumah sakit.
Hati siapa yang tak gundah. Apalagi perasaan seorang ibu. Mana bisa perasaan itu menahan tangis, sedang anaknya dalam keadaan antara hidup dan mati.
“Ya Allah. Lindungilah anakku. Ampuni dia,”. Isak tangis itu tertahan dikerongkongan sang ibu. Rasanya benar-benar sakit. Tapi mau bagaimana lagi. Jika warga tahu akan hal ini, semuanya akan kembali seperti dulu. Menatap tajam, dan menggunjing mas danu. Mas danu dianggap layaknya orang gila karena seorang wanita yang dicintainya telah pergi.
“Bu, ibu tidak kenapa kan?” tanya ningsih saat melihat kondisi tubuh ibunya yang kian melemah dan semakin melemah...
“Bu.. Ibuuuuuuu....” Suara itu tiba-tiba saja tercegat. Hampir saja. Yah hampir saja. Ningsih menahan teriakan itu dalam tangis yang bisa saja membunuh dirinya, perlahan. Melihat ibunya yang tak sadarkan diri, ia hanya bisa berbaring disisi sang ibu.
“Bu.,, Ningsih tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Perempuan itu, benar-benar telah membuat kita semua dalam keadaan menderita. Diandra!. Aku pasti akan temukan perempuan itu. !!!” ucap ningsih mulai geram.
Gelas ditangan ihwan tiba-tiba saja terjatuh. Pecahan gelas itu berserakan disekitar lantai tempatnya duduk saat ini.
“Apa yang terjadi, nak?” Tanya seorang bapak tua yang berada disampingnya.
“Ah, maaf pak. Saya melamun. Saya akan segera bersihkan pecahannya,”.
“Sudahlah. Biar cleaning service saja yang membereskannya. Tapi, siapa yang sedang kamu tunggu,nak”
“Aku sedang menunggu kakak. Ia sedang sakit”
“Sakit apa?”
“Itu...” lidah ihwan kelu.
“Ya sudah. Tak apa kalau belum bisa dijawab. Bapak permisi dulu yah”
“Ia pak” jawab ihwan mengangguk.
Entah kenapa suasana malam ini terasa panas. Angin pun seolah enggan untuk berhembus. Padahal barangkali, hembusannya mampu menghapus penat dalam diri ihwan.
“Sejak awal kau datang kerumah mereka, yang mereka pikirkan adalah dirimu akan menjadi pendamping selamanya untuk danu. Tapi... kenapa kamu datang lalu pergi begitu saja. Tanpa pamit, lalu berbohong telah mati. Setidaknya kamu beritahu mereka. Atau tidak, beri alasan pada danu sehingga ia tak memikirkanmu lagi seperti ini...” kata seorang lelaki misterius di depan ruang perawatan danu.
“Maafkan aku ...” Ucap seorang wanita di ujung telfon


Sebelum aku membuka mata, hanya satu pintaku. Kau ada disampingku, hingga mata ini kembali terpejam. Atau setidaknya kita, terpejam bersama selamanya ....

“Maafkan aku Dim.. Tapi tolong jaga danu untuk diandra.. ” Kalimat barusan diucapkan seorang wanita dengan Isak tangis.
“Kamu..?? kamu bukan diandra!!!.. mana diandra??!!” lelaki itu mengeraskan suaranya di telpon. Satu hal yang lelaki itu tahu, bahwa diandra masih hidup. Dan selama ini ia selalu berbagi cerita dengan diandra meskipun jauh. Diandra selalu bersembunyi. Entah dimana. Tapi yang lelaki itu tahu, bahwa diandra pergi dan tak akan pernah kembali.
“Selama ini yang kamu hubungi bukanlah diandra, dimas.. Tapi aku. Aku sama sekali tak tahu dimana diandra”
“Kamu bohong!. lalu mengapa nomor ponsel diandra ada padamu? Dan mengapa suaramu selama ini begitu mirip dengan diandra?!”. Nafas lelaki itu tak karuan. Rasanya dia benar-benar kesal telah dibohongi selama ini.
“Sejak awal yang kau hubungi adalah aku, dim. Aku berpura-pura menjadi diandra. Dan selama ini kau tak pernah sekalipun berbicara dengan dia. Karena yang selama ini kamu hubungi adalah aku, dan aku sengaja merubah suaraku agar mirip dengan diandra. Tapi sekarang, aku sudah muak untuk berpura-pura!. Asal kamu tahu, dim. Dua tahun yang lalu, diandra menuliskan pesan lewat surat untukku dan juga untukmu setelah dia tahu bahwa danu ternyata mencintainya”. ucap perempuan itu sambil menggenggam sepucuk surat yang usang.
  
Dear aninda dan dimas sahabatku...
Rasanya aku tak ingin pergi bila ku tahu ada seseorang yang sangat mengharapkanku untuk terus hidup bersamanya. Hanya saja aku berkaca, aku tak pantas untuknya. Namun, seorang pemuda yang shaleh itu terus saja menggetarkan hatiku. Membuatku harus berbohong untuk mengatakan bahwa aku adalah seorang muslim. Dan Aku bukanlah seorang muslim. Aku hanyalah perempuan yang tak beragama, yang tak pernah memilih tuhan mana yang aku percayai. Hingga dia datang membawa nama islam.
Dia adalah danu. Untuk pertama kalinya kami bertemu di sebuah pasar dekat pesantren ternama di kota itu. Danu adalah seorang penghuni pesantren yang sekaligus mengajar mengaji disana. Kalian tahu, Aku tertarik padanya. Dan mulai saat itu, aku selalu rutin melihatnya dari pasar. Wajahnya yang bercahaya membuatku selalu mengingatnya dan hingga terbawa dalam mimpi. Akhirnya aku memutuskan untuk berkenalan langsung dengannya. Tapi, dia menolak uluran tanganku. Katanya haram baginya untuk kami bersentuhan. Tapi kegelisahanku semakin menjadi. Aku merasa bahwa aku mencintainya. Hingga suatu hari aku menembaknya.
Wajah danu yang bercahaya itu hanya tersenyum lalu membalikkan badannya, melangkah kembali menuju pesantren. Aku kesal. Lalu aku mencoba mencari tahu lebih banyak tentangnya, bahkan mengikutinya hingga ke kampung halamannya. Aku berbohong kalau aku ketinggalan bus. Tapi dengan sangat ramah, danu mengajakku kerumahnya. Bertemu dengan ibu dan adik-adiknua. Sudah sebulan waktu itu, berbagai alasan ku layangkan padanya hingga aku bisa tinggal selama itu dengannya. Aku terus memperhatikannya dengan sangat dalam. Mencoba menerka apakah ia mencintaiku apa tidak. Tapi danu, sama sekali tak pernah mengatakan cinta padaku. Padahal aku berulang kali menembaknya, dan hanya dibalas senyum olehnya.
Aku semakin membencinya. Padahal aku sangat mencintainya. Kalian tahu, bahwa aku selalu menangis setiap malam hanya untuknya. Tapi apa balasannya?. Aku kecewa. bahkan sangat kecewa. Aku merasa danu telah mempermainkan perasaanku. Hingga aku tak mampu lagi membendung segalanya. Aku minta maaf padanya lewat sepucuk surat “aku kecewa padamu”. Mungkin itulah inti dari surat yang aku buat. Melalui surat itu aku berjanji tidak akan pernah menemuinya lagi. Hingga akhirnya kabar kematianku sampai kepadanya. Entah siapa yang memulai. Tapi aku meminta pada kalian untuk menjaga baik-baik rahasia ini. Aku tak bisa bersaing dengan perempuan itu. Ia memaksaku sehingga aku harus memilih untuk mati di hati dan pikiran danu.
-Diandra-

“Aku sama sekali tak mengerti dengan penutup dari akhir surat ini. Apa maksud diandra?!!” tanya dimas pada aninda sebari merebahkan dirinya di kursi dalam sebuah gedung tua. Kekesalannya pun semakin menjadi-jadi.
“Aku juga sama sekali tak tahu, dim. Untuk tahu diandra dimana, akupun tak tahu”
“Lalu ponsel dan nomor itu?” dimas mengarah tajam kearah ponsel yang digenggam aninda.
“Ponsel dan nomor ini datang bersamaan dengan sepucuk surat itu dua tahun yang lalu,dim. Akupun tak tahu darimana diandra tahu alamat rumahku. Dan pesan pertama yang masuk diponselnya menginginkan agar aku berpura-pura jadi diandra,” jelas aninda.
Kini, aninda dan dimas hanya saling menatap.
Apa yang sedang terjadi?. Mengapa semua ini begitu rumit tuhan?. Apa yang diandra pikirkan??. Apa hanya sekedar balas dendam pada perasaannya yang dulu pada danu?. Tapi  rasanya tak mungkin. Tapi.. ia menyebut perempuan. Siapa perempuan itu????. Duhai waktu, percepatlah waktu ini berputar,” ucap dimas dalam hati.

***

Hujan kembali membasahi bumi. Tetesan demi tetesannya, jelas memberikan kehidupan baru bagi mereka yang kerap kali menantinya. Tanaman tampak begitu segar. Udara yang dihasilkanpun demikian. Seolah hujan memberi ketenangan bagi siapa saja yang menikmatinya. Tapi sesungguhnya tidak, bagi ihwan.
Hari itu masih jelas dalam ingatan, bagaimana perihnya kesedihan mas danu. Sosok yang dikenal ihwan memiliki jiwa yang tenang, bahkan tegar dalam segala persoalan. Tapi entah kenapa, perempuan itu seolah meluluh lantakkan sosok mas danu. Apakah ini karena cinta?, atau memang mas danu lah yang telah berubah.
Begitu banyak pertanyaan yang bergemuruh dibenak ihwan. Tapi, ah. Terserahlah apa kata orang. Mereka hanya tahu mencibir. Mereka tak tahu apa-apa tentang mas danu, termaksud dirinya sendiri. Semenjak mas danu pergi untuk mengajar di sebuah daerah, ihwan tak tahu lagi bagaimana perkembangan mas danu. Hingga pada saat itu, sosok wanita bernama diandra diajaknya kerumah. Diperkenalkan pada ibu.
Ihwan menatap hampa butiran air yang jatuh dari langit yang melewati atap rumah sakit. Aroma disekitarnya pun mulai berubah, berganti dengan aroma tanah. Sesekali ihsan menghirup aroma itu, dalam setiap helaan, sebari memperbaiki sandarannya dibangku rumah sakit yang tak jauh dari ruangan mas danu. Barangkali ada doa disana. Yang sengaja ia panjatkan, untuk kesembuhan mas danu.
“Sudah lama wan?”. Ihwan sedikit terkejut dengan suara yang sesungguhnya tak asing baginya.
“Maaf. Kalau boleh tahu, anda ini siapa? sepertinya anda tidak begitu asing” tanya ihwan, sebari menatap jeli wajah lelaki dihadapannya.
“Saya dimas. Kawan lama mas mu,” Ihwan sedikit mengingat ke masa lalu.
“Oh, ya.. sekarang aku ingat.. Mas dimas yang dulu teman satu SMP kan? yang sering godain ningsih sampai menangis itu kan?”
“Ya.. ihwan. yang itu tidak perlu di ingat juga dong.” Ucapnya terkekeh.
“Hahaha.. yayaya.. Apa kabar mas?. Ihwan sudah jarang, bahkan tak pernah bertemu mas dimas lagi.”
“Saya sekarang sibuk kerja wan. Selepas SMP, saya harus pindah ke daerah lain, hingga mencari kerja. Sampai akhirnya, saya mendengar kabar Mas mu dari teman-teman. Bagaimana kabarnya? apa sudah baikan?”.
“Belum mas. Mas danu belum juga sadarkan diri,” ucap ihwan menunduk.
Dimas lalu memegang punggung ihwan. Berusaha membuat seorang adik dari teman lamanya itu bertahan sekuat tenaga.
“Sabarlah wan. Danu orangnya kuat kok. Dia perlu waktu untuk pemulihan diri. Jujur saya terkejut dengan sikapmu yang sekarang wan. Danu pernah bilang, kalau kamu itu bukan orang yang cengeng. Ayolah. Buktikan apa yang mas mu katakan”. Mendengar kalimat barusan, ihwan berusaha mengangkat pandangnya. Setidaknya lewat mas dimas, ihwan merasakan nasihat mas danu yang jelas terlihat olehnya.
“Kalau boleh saya tahu, ruangan danu dimana yah?,” Tanyanya pada ihwan yang tampak mulai tenang.
“Disana mas. Yang ada tulisan kenanga. Masuk saja kedalam. Nanti mas akan lihat ruangan yang sedikit tertutup dari ruangan lainnya,” Jelas ihwan
“Saya kesana dulu, boleh kan?” tanya dimas.
“Ah ia mas. Silahkan. Saya masih ingin menyendiri dulu disini.”
“Baiklah kalau begitu wan.” Ucap dimas, lalu beranjak menuju ruangan danu.
Kamar itu memang agak tertutup dibanding kamar lainnya. Mungkin saja hal itu memang sengaja, agar orang-orang tak banyak tahu tentang siapa dan kenapa penghuni kamar tersebut.
Begitu membuka pintu kamar rawat danu, dimas terkejut. Seorang wanita dengan jilbab besar ada disana. Menyadari kehadiran orang lain, sontak membuat wanita itu terkejut, dan langsung berlari keluar hingga menabrak tubuh dimas.
“Hey.. siapa kamu???!!”.. Dimas tak tinggal diam. Ditariknya lengan wanita itu hingga kesakitan.
“Kenapa kamu harus lari.. ?? Kamu ini siapa?!!” Tanya dimas dengan nada yang mulai meninggi.
“Lepaskan!..” Jerit wanita itu.
“Aku Bilang lepaskan !!!” Wanita itu dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri. Merasa kekuatannya tidak sepadan dengan dimas, wanita itupun menggigit lengan dimas hingga berdarah..
“Awwww... “ teriak dimas, yang kemudian melepas lengan wanita itu. Kesempatan itu diambil sang wanita untuk pergi dari hadapan dimas.
Mendengar suara jeritan dari ruangan danu, ihwan pun menghampiri.
“Ada apa mas dimas?. Lohh. kok tangan mas dimas berdarah,” tanya ihwan saat menatap lengan dimas.
“Ah itu.. tidak kenapa kok. cuma lecet kena paku. Oh ia. Apa kamu tahu, kalau tadi ada seorang wanita yang datang kesini?”
“Tidak mas. memangnya kenapa? apa ada orang yang masuk kesini?”
“Oh tidak kok. Saya cuma tanya. Siapa tahu saja ada teman lama danu yang datang. Kalau begitu saya permisi dulu yah. Sebentar saya balik lagi” ucap dimas
“Ia mas,”.
Sepanjang perjalanan pulang, dimas tak hentinya memikirkan kejadian barusan.
“Aku heran dengan wanita itu. Kalaupun ia sekedar menjenguk, maka tak perlu ia harus sepanik dan sebrutal itu. Ada apa dengan dia?. Wajahnya pun tak pernah kulihat.. Siapa dia sebenarnya?”...
Langkah kaki dimas pun seolah tak menentu. Sama seperti pemikirannya tentang wanita berjilbab besar itu. Dan sekali lagi, untuk apa, dan perlu apa wanita itu ada disana?? Mengapa Ia begitu panik melihat dimas?? 

*** 

Writers by Nur Komariah