"Aku mencarimu diujung batas senja. Menantimu hingga
bersandar pada gerbong kereta tua. luluh lantak. Mendayu dalam angan. Tapi aku
tak pernah berhenti, hingga batu nisan ini terukir atas nama cinta."
*
*
Sore itu, magenta merona di lengkung langit jawa. Ihwan baru
saja usai memberi makan merpatinya. Sekilas tak begitu jelas, namun mega mendung
tiba-tiba saja bergerak cepat mengusai langit, dan menghitam.
“Apa yang terjadi?” Tanya ihwan dalam hati
Semilir angin bertautan dengan dedaunan tua, berguguran
menerpa wajah. Pupus menghela malam, ditenggelamkan oleh hujan. Ihwan teringat,
pertama kali ia mengenalnya. Tanpa akrab. Namun ada senyum terlukis indah dalam
bingkai rupa itu.
Setiap pagi aku selalu menerka. Apa
yang kelak dikisahkan waktu selain keriuhan hari dan lembaran catatan yang
akhirnya jadi kenangan.
-yossy-
Ihwan menatap sajak sang pujangga yang tengah aktif di media
sosialnya. Ia kemudian menerka. Mungkinkah pujangga itu merasakan apa yang ia
rasa?. Entahlah. namun hening terus saja berucap. Ini masih menjadi rahasia.
“Hai wan,, apa yang kau lakukan ditanah lapang ini dalam
hujan? pulanglah. Ibu menunggumu dirumah,” Teriak sosok lelaki bertubuh jakung
dari kejauhan. Lelaki itu menyodori payung hitamnya. Sebuah payung yang kerap
kali digunakan semenjak kepergian wanita yang ia cintai. Jelaslah disana.
Sebuah kalimat cinta dibaliknya. Menunjukkan rasa bersalah pada hari kematian
itu.
-Diandra, aku mencintaimu. Dan akan
tetap mencintaimu. Maafkan aku -
Hingga saat ini ihwan tak berani bertanya, apa yang
sebenarnya terjadi. Tapi seringkali rasa penasaran ini menimpali. Hingga
akhirnya mencoba memberanikan diri.
“Mas, apa engkau masih mencintai diandra?” tanya ihwan
memulai pembicaraan.
Hujan mengguyur kian deras. Menyembunyikan linangan air mata
yang terus saja bersembunyi dari sosok tegar itu.
“Aku minta maaf mas. Aku tak bermaksud. Kalau mas tidak
ingin mengatakannya, tidak apa. Aku yang salah” timpal ihwan.
“Aku mencintainya, dan masih akan tetap mencintainya.
Diandra. Yah diandra. Aku mengenalnya dalam diam. Dan berpisah lewat
kesunyian......”
Ihwan menatap lekat wajah itu. wajah yang selama ini
dilihatnya selalu ceria, begitu saja berubah menjadi kelam.
“Aku menyesal, wan. aku menyesaaal. Maafkan aku
diandraaaaa“ Teriaknya di sambut riuhnya angin. Tubuhnya pun tergeletak,
meratapi tanah. Hitampun Menyergap. Lalu tak sadarkan diri.
“Mas, Sadar mas....” Ihwan mengguncang tubuh lelaki itu.
Tapi tak jua mendapati jawaban. Gusar rasanya hati ihwan. Mengapa ia mencoba
menanyakan hal yang tak seharusnya dipertanyakan. Hujan pun berhenti perlahan.
Ihwan kemudian membopong lelaki itu kembali ke rumah.
Disepanjang perjalanan pulang, semua menatap. Apa yang
terjadi? Apa dia kembali pada masa yang lalu? riuh pertanyaan itu memanah. Oh
tidak. ihwan mulai kesal. Pertanyaan macam apa itu!. Tak seharusnya orang-orang
menatap seperti itu. Ihwan berusaha tak mendengarnya. Berlari dengan segera
menuju rumah. Semoga ketenangan segera ia dapatkan disana.
“Apa yang terjadi dengan masmu wan? kenapa ia seperti ini?”.
Sosok wanita setengah renta terkejut melihat kepulangan mereka di teras rumah.
Wajah ihwan yang lesu dan masnya yang terkapar dalam pangkuan, menambah rasa
panik wanita itu. Ihwan bergegas masuk kedalam rumah. Mengambil handuk dan
minyak kayu putih untuk mengeringkan dan menghangatkan tubuh Masnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi, wan?”, pertanyaan itu kembali
muncul dari wanita itu.
“Tidak kenapa bu. Mungkin tadi mas begitu lelah. Ibu kan
tahu kalau mas baru saja tiba dari luar kota. Atau mungkin dia tadi lupa makan,
bu”. Ihwan berharap kalimat itu mengurangi kecemasan ibunya.
“Yah, mungkin saja wan. Ibu tidak ingin terjadi apa-apa
dengan masmu. Tadi selepas sholat ashar masmu menanyakanmu pada ibu. Katanya ia
ingin bicara. Mungkin itu yang membuatnya seperti ini. Ia lupa makan seperti
katamu”
Ihwan menghela nafas. Syukurlah ibunya percaya dengan
kalimatnya barusan. Kembali ihwan membopong masnya ke kamar. Ibunya mengikuti
dari belakang. Sementara dari balik gorden dapur, sepasang mata bola mengintip
dari kejauhan.
“Apa yang kamu lakukan disitu, ningsih?”
“Mas danu kenapa bu? Ningsih takut terjadi apa-apa dengan
mas. Padahal mas danu baru saja tiba dari kota. Ningsih masih rindu bu,” ucap
ningsih dengan lirih.
“Masmu tidak kenapa, ning. Kalau kamu masih rindu, ayo sana
rawat masmu. Buatkan ia bubur kesukaannya”
“Baik bu.. Ningsih akan buatkan”. Adzan mulai berkumandang.
Bersautan dengan derap langkah kaki warga menuju mesjid.
“Mas ihwan tidak ikut ke mesjid?” tanya ningsih, usai
menyiapkan bubur kesukaan mas danu.
“Mas dirumah saja dulu sholatnya. Kalau ning mau ke mesjid, pergilah.
Mas ihwan akan jaga mas danu disini”
“Baiklah mas, ning pergi dulu bersama ibu. Assalamu alaikum”
“Waalaikum salam. Hati-hati dijalan ning” ucap ihwan.
Ihwan kembali menatap mas danu yang terbaring lemah.
Wajahnya mengguratkan kesedihan yang amat dalam.
“Aku permisi dulu mas. Mau sholat, mendoakan mas. Semoga
setelah ini, mas bisa segera membaik”. bisik ihwan ditelinga masnya. Mungkin
saja Mas danu tak mendengarnya. Tapi ihwan yakin. Hati masnya akan turut
merasakan.
Malam itu dipenuhi dengan lantunan ayat suci dari ihwan.
Suaranya menggema, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Allah maha
besar atas segala sesuatu. Maha pengasih dan penyayang. Ia tak akan memberikan
cobaan kepada hambanya diluar batas kemampuan.
Jemari Mas danu bergerak perlahan. Ihwan memberhentikan
bacaannya. Sungguh, Maha benar Allah atas segala firmannya. Ihwan mendekatinya
perlahan. Terdengar lirih masnya memanggil nama diandra. Mata yang terpejam,
kini perlahan terbuka.
“Wan, diandra wan...” Kembali kata itu terucap.
“Mas.. Berhentilah untuk mengingatnya. Dia telah pergi.
Kosongkanlah hatimu. Serahkan semuanya pada Allah. Pasti ia tak menginginkan
Mas menderita seperti ini,” Hanya kalimat itu yang mampu dikeluarkan ihwan. Memang
berat rasanya. Tapi masnya akan semakin larut bila terus dibiarkan begitu saja.
Linangan airmata itu tak bisa terbendung. Suara yang ditahannya kini semakin
mengeras.
“Aku tidak bisa wan... Tidak bisaaaaaa. Aku Masih bersalah
padanya.....!!!!!”
Mas danu memecahkan Vas bunga diatas meja dekat tempat
tidurnya. Ia meringkih. Pecahan vas itu diambilnya, lalu dilayangkan ditangannya.
“MAS ! APA YANG KAU LAKUKAN? BERHENTI !!! ITU DOSA!!!!
Mas danu tak menghiraukan perkataan ihwan. Ia mencoba bunuh
diri...
***
Tubuhku beku. Rasanya tinggal nafas
satu persatu tertahan diantara malam yang dingin dan kaku. Bertahan hingga
membiru. Aku tersayat ribuan sembilu.
-yossy-
Ihwan
menatap layar ponselnya. Sebuah status dari pujangga tampak menghiasi beranda
facebooknya. Entahlah. Pagi ini sepertinya membuatnya benar-benar beku. Mas
danu, terbaring lemah di pembaringan rumah sakit. Sejak semalam hati ihwan
benar-benar tak karuan.
“Apa
yang dipikirkan mas danu? Kenapa perempuan itu bisa membuatnya sebegitu
bersalah dan menderita ?!. Ya Allah. Apa yang terjadi” Ihwan tak hentinya
memukuli dinding rumah sakit. Tak begitu keras. Sebab yang keras kali ini
adalah hatinya.
Sementara itu, ningsih dan ibunya hanya
menangis tersedu dirumah. Ibu bisa saja menangis sekencang-kencangnya. Namun
ihwan melarangnya.
“Ini tak boleh diketahui warga bu. Apa
yang akan mereka katakan nanti. Pasti mas danu akan jadi bulan-bulanan di
kampung ini. Ibu mengerti kan?” kata ihwan sebelum tergesa menuju rumah sakit.
Hati siapa yang tak gundah. Apalagi
perasaan seorang ibu. Mana bisa perasaan itu menahan tangis, sedang anaknya
dalam keadaan antara hidup dan mati.
“Ya Allah. Lindungilah anakku.
Ampuni dia,”. Isak tangis itu tertahan dikerongkongan sang ibu. Rasanya
benar-benar sakit. Tapi mau bagaimana lagi. Jika warga tahu akan hal ini,
semuanya akan kembali seperti dulu. Menatap tajam, dan menggunjing mas danu.
Mas danu dianggap layaknya orang gila karena seorang wanita yang dicintainya
telah pergi.
“Bu, ibu tidak kenapa kan?” tanya
ningsih saat melihat kondisi tubuh ibunya yang kian melemah dan semakin
melemah...
“Bu.. Ibuuuuuuu....” Suara itu
tiba-tiba saja tercegat. Hampir saja. Yah hampir saja. Ningsih menahan teriakan
itu dalam tangis yang bisa saja membunuh dirinya, perlahan. Melihat ibunya yang tak sadarkan diri, ia hanya bisa berbaring disisi sang ibu.
“Bu.,, Ningsih tidak ingin kejadian
itu terulang lagi. Perempuan itu, benar-benar telah membuat kita semua dalam
keadaan menderita. Diandra!. Aku pasti akan temukan perempuan itu. !!!” ucap
ningsih mulai geram.
Gelas ditangan ihwan tiba-tiba saja
terjatuh. Pecahan gelas itu berserakan disekitar lantai tempatnya duduk saat
ini.
“Apa yang terjadi, nak?” Tanya
seorang bapak tua yang berada disampingnya.
“Ah, maaf pak. Saya melamun. Saya
akan segera bersihkan pecahannya,”.
“Sudahlah. Biar cleaning service
saja yang membereskannya. Tapi, siapa yang sedang kamu tunggu,nak”
“Aku sedang menunggu kakak. Ia
sedang sakit”
“Sakit apa?”
“Itu...” lidah ihwan kelu.
“Ya sudah. Tak apa kalau belum bisa
dijawab. Bapak permisi dulu yah”
“Ia pak” jawab ihwan mengangguk.
Entah kenapa suasana malam ini
terasa panas. Angin pun seolah enggan untuk berhembus. Padahal barangkali, hembusannya
mampu menghapus penat dalam diri ihwan.
“Sejak awal kau datang kerumah
mereka, yang mereka pikirkan adalah dirimu akan menjadi pendamping selamanya
untuk danu. Tapi... kenapa kamu datang lalu pergi begitu saja. Tanpa pamit, lalu
berbohong telah mati. Setidaknya kamu beritahu mereka. Atau tidak, beri alasan
pada danu sehingga ia tak memikirkanmu lagi seperti ini...” kata seorang lelaki
misterius di depan ruang perawatan danu.
“Maafkan aku ...” Ucap seorang
wanita di ujung telfon
Sebelum
aku membuka mata, hanya satu pintaku. Kau ada disampingku, hingga mata ini
kembali terpejam. Atau setidaknya kita, terpejam bersama selamanya ....
“Maafkan aku Dim.. Tapi tolong jaga danu untuk diandra.. ”
Kalimat barusan diucapkan seorang wanita dengan Isak tangis.
“Kamu..?? kamu bukan diandra!!!.. mana diandra??!!” lelaki
itu mengeraskan suaranya di telpon. Satu hal yang lelaki itu tahu, bahwa
diandra masih hidup. Dan selama ini ia selalu berbagi cerita dengan diandra
meskipun jauh. Diandra selalu bersembunyi. Entah dimana. Tapi yang lelaki itu
tahu, bahwa diandra pergi dan tak akan pernah kembali.
“Selama ini yang kamu hubungi bukanlah diandra, dimas.. Tapi
aku. Aku sama sekali tak tahu dimana diandra”
“Kamu bohong!. lalu mengapa nomor ponsel diandra ada padamu?
Dan mengapa suaramu selama ini begitu mirip dengan diandra?!”. Nafas lelaki itu
tak karuan. Rasanya dia benar-benar kesal telah dibohongi selama ini.
“Sejak awal yang kau hubungi adalah aku, dim. Aku
berpura-pura menjadi diandra. Dan selama ini kau tak pernah sekalipun berbicara
dengan dia. Karena yang selama ini kamu hubungi adalah aku, dan aku sengaja merubah suaraku agar mirip dengan
diandra. Tapi sekarang, aku sudah muak untuk berpura-pura!. Asal kamu tahu, dim.
Dua tahun yang lalu, diandra menuliskan pesan lewat surat untukku dan juga
untukmu setelah dia tahu bahwa danu ternyata mencintainya”. ucap perempuan itu
sambil menggenggam sepucuk surat yang usang.
Dear
aninda dan dimas sahabatku...
Rasanya aku tak ingin pergi bila ku
tahu ada seseorang yang sangat mengharapkanku untuk terus hidup bersamanya.
Hanya saja aku berkaca, aku tak pantas untuknya. Namun, seorang pemuda yang
shaleh itu terus saja menggetarkan hatiku. Membuatku harus berbohong untuk
mengatakan bahwa aku adalah seorang muslim. Dan Aku bukanlah seorang muslim.
Aku hanyalah perempuan yang tak beragama, yang tak pernah memilih tuhan mana
yang aku percayai. Hingga dia datang membawa nama islam.
Dia adalah danu. Untuk pertama kalinya
kami bertemu di sebuah pasar dekat pesantren ternama di kota itu. Danu adalah
seorang penghuni pesantren yang sekaligus mengajar mengaji disana. Kalian tahu,
Aku tertarik padanya. Dan mulai saat itu, aku selalu rutin melihatnya dari
pasar. Wajahnya yang bercahaya membuatku selalu mengingatnya dan hingga terbawa
dalam mimpi. Akhirnya aku memutuskan untuk berkenalan langsung dengannya. Tapi,
dia menolak uluran tanganku. Katanya haram baginya untuk kami bersentuhan. Tapi
kegelisahanku semakin menjadi. Aku merasa bahwa aku mencintainya. Hingga suatu
hari aku menembaknya.
Wajah danu yang bercahaya itu hanya
tersenyum lalu membalikkan badannya, melangkah kembali menuju pesantren. Aku
kesal. Lalu aku mencoba mencari tahu lebih banyak tentangnya, bahkan mengikutinya
hingga ke kampung halamannya. Aku berbohong kalau aku ketinggalan bus. Tapi
dengan sangat ramah, danu mengajakku kerumahnya. Bertemu dengan ibu dan adik-adiknua. Sudah sebulan waktu itu, berbagai alasan ku layangkan padanya hingga aku
bisa tinggal selama itu dengannya. Aku terus memperhatikannya dengan sangat dalam. Mencoba menerka apakah
ia mencintaiku apa tidak. Tapi danu, sama sekali tak pernah mengatakan cinta
padaku. Padahal aku berulang kali menembaknya, dan hanya dibalas senyum
olehnya.
Aku semakin membencinya. Padahal aku
sangat mencintainya. Kalian tahu, bahwa aku selalu menangis setiap malam hanya
untuknya. Tapi apa balasannya?. Aku kecewa. bahkan sangat kecewa. Aku merasa
danu telah mempermainkan perasaanku. Hingga aku tak mampu lagi membendung
segalanya. Aku minta maaf padanya lewat sepucuk surat “aku kecewa padamu”.
Mungkin itulah inti dari surat yang aku buat. Melalui surat itu aku berjanji
tidak akan pernah menemuinya lagi. Hingga akhirnya kabar kematianku sampai
kepadanya. Entah siapa yang memulai. Tapi aku meminta pada kalian untuk menjaga
baik-baik rahasia ini. Aku tak bisa bersaing dengan perempuan itu. Ia memaksaku
sehingga aku harus memilih untuk mati di hati dan pikiran danu.
-Diandra-
“Aku sama sekali tak mengerti dengan penutup dari akhir
surat ini. Apa maksud diandra?!!” tanya dimas pada aninda sebari merebahkan
dirinya di kursi dalam sebuah gedung tua. Kekesalannya pun semakin menjadi-jadi.
“Aku juga sama sekali tak tahu, dim. Untuk tahu diandra
dimana, akupun tak tahu”
“Lalu ponsel dan nomor itu?” dimas mengarah tajam kearah
ponsel yang digenggam aninda.
“Ponsel dan nomor ini datang bersamaan dengan sepucuk surat
itu dua tahun yang lalu,dim. Akupun tak tahu darimana diandra tahu alamat
rumahku. Dan pesan pertama yang masuk diponselnya menginginkan agar aku
berpura-pura jadi diandra,” jelas aninda.
Kini, aninda
dan dimas hanya saling menatap.
“Apa yang sedang
terjadi?. Mengapa semua ini begitu rumit tuhan?. Apa yang diandra pikirkan??.
Apa hanya sekedar balas dendam pada perasaannya yang dulu pada danu?. Tapi
rasanya tak mungkin. Tapi.. ia menyebut perempuan. Siapa perempuan itu????. Duhai
waktu, percepatlah waktu ini berputar,” ucap dimas dalam hati.
***
Hujan kembali membasahi bumi. Tetesan demi tetesannya, jelas
memberikan kehidupan baru bagi mereka yang kerap kali menantinya. Tanaman
tampak begitu segar. Udara yang dihasilkanpun demikian. Seolah hujan memberi
ketenangan bagi siapa saja yang menikmatinya. Tapi sesungguhnya tidak, bagi
ihwan.
Hari itu masih jelas dalam ingatan, bagaimana perihnya
kesedihan mas danu. Sosok yang dikenal ihwan memiliki jiwa yang tenang, bahkan
tegar dalam segala persoalan. Tapi entah kenapa, perempuan itu seolah meluluh
lantakkan sosok mas danu. Apakah ini karena cinta?, atau memang mas danu lah
yang telah berubah.
Begitu banyak pertanyaan yang bergemuruh dibenak ihwan.
Tapi, ah. Terserahlah apa kata orang. Mereka hanya tahu mencibir. Mereka tak
tahu apa-apa tentang mas danu, termaksud dirinya sendiri. Semenjak mas danu
pergi untuk mengajar di sebuah daerah, ihwan tak tahu lagi bagaimana
perkembangan mas danu. Hingga pada saat itu, sosok wanita bernama diandra
diajaknya kerumah. Diperkenalkan pada ibu.
Ihwan menatap hampa butiran air yang jatuh dari langit yang
melewati atap rumah sakit. Aroma disekitarnya pun mulai berubah, berganti dengan
aroma tanah. Sesekali ihsan menghirup aroma itu, dalam setiap helaan, sebari
memperbaiki sandarannya dibangku rumah sakit yang tak jauh dari ruangan mas
danu. Barangkali ada doa disana. Yang sengaja ia panjatkan, untuk kesembuhan
mas danu.
“Sudah lama wan?”. Ihwan sedikit terkejut dengan suara yang
sesungguhnya tak asing baginya.
“Maaf. Kalau boleh tahu, anda ini siapa? sepertinya anda
tidak begitu asing” tanya ihwan, sebari menatap jeli wajah lelaki dihadapannya.
“Saya dimas. Kawan lama mas mu,” Ihwan sedikit mengingat ke
masa lalu.
“Oh, ya.. sekarang aku ingat.. Mas dimas yang dulu teman
satu SMP kan? yang sering godain ningsih sampai menangis itu kan?”
“Ya.. ihwan. yang itu tidak perlu di ingat juga dong.”
Ucapnya terkekeh.
“Hahaha.. yayaya.. Apa kabar mas?. Ihwan sudah jarang,
bahkan tak pernah bertemu mas dimas lagi.”
“Saya sekarang sibuk kerja wan. Selepas SMP, saya harus
pindah ke daerah lain, hingga mencari kerja. Sampai akhirnya, saya mendengar
kabar Mas mu dari teman-teman. Bagaimana kabarnya? apa sudah baikan?”.
“Belum mas. Mas danu belum juga sadarkan diri,” ucap ihwan
menunduk.
Dimas
lalu memegang punggung ihwan. Berusaha membuat seorang adik dari teman lamanya
itu bertahan sekuat tenaga.
“Sabarlah wan. Danu orangnya kuat kok. Dia perlu waktu untuk
pemulihan diri. Jujur saya terkejut dengan sikapmu yang sekarang wan. Danu
pernah bilang, kalau kamu itu bukan orang yang cengeng. Ayolah. Buktikan apa
yang mas mu katakan”. Mendengar kalimat barusan, ihwan berusaha mengangkat
pandangnya. Setidaknya lewat mas dimas, ihwan merasakan nasihat mas danu yang
jelas terlihat olehnya.
“Kalau boleh saya tahu, ruangan danu dimana yah?,” Tanyanya
pada ihwan yang tampak mulai tenang.
“Disana mas. Yang ada tulisan kenanga. Masuk saja kedalam.
Nanti mas akan lihat ruangan yang sedikit tertutup dari ruangan lainnya,” Jelas
ihwan
“Saya kesana dulu, boleh kan?” tanya dimas.
“Ah ia mas. Silahkan. Saya masih ingin menyendiri dulu
disini.”
“Baiklah kalau begitu wan.” Ucap dimas, lalu beranjak menuju
ruangan danu.
Kamar itu memang agak tertutup dibanding kamar lainnya.
Mungkin saja hal itu memang sengaja, agar orang-orang tak banyak tahu tentang
siapa dan kenapa penghuni kamar tersebut.
Begitu
membuka pintu kamar rawat danu, dimas terkejut. Seorang wanita dengan jilbab
besar ada disana. Menyadari kehadiran orang lain, sontak membuat wanita itu
terkejut, dan langsung berlari keluar hingga menabrak tubuh dimas.
“Hey.. siapa kamu???!!”.. Dimas tak tinggal diam. Ditariknya
lengan wanita itu hingga kesakitan.
“Kenapa kamu harus lari.. ?? Kamu ini siapa?!!” Tanya dimas
dengan nada yang mulai meninggi.
“Lepaskan!..” Jerit wanita itu.
“Aku Bilang lepaskan !!!” Wanita itu dengan sekuat tenaga
berusaha melepaskan diri. Merasa kekuatannya tidak sepadan dengan dimas, wanita
itupun menggigit lengan dimas hingga berdarah..
“Awwww... “ teriak dimas, yang kemudian melepas lengan
wanita itu. Kesempatan itu diambil sang wanita untuk pergi dari hadapan dimas.
Mendengar
suara jeritan dari ruangan danu, ihwan pun menghampiri.
“Ada apa mas dimas?. Lohh. kok tangan mas dimas berdarah,”
tanya ihwan saat menatap lengan dimas.
“Ah itu.. tidak kenapa kok. cuma lecet kena paku. Oh ia. Apa
kamu tahu, kalau tadi ada seorang wanita yang datang kesini?”
“Tidak mas. memangnya kenapa? apa ada orang yang masuk
kesini?”
“Oh tidak kok. Saya cuma tanya. Siapa tahu saja ada teman
lama danu yang datang. Kalau begitu saya permisi dulu yah. Sebentar saya balik
lagi” ucap dimas
“Ia mas,”.
Sepanjang perjalanan pulang, dimas tak hentinya memikirkan
kejadian barusan.
“Aku heran dengan wanita itu. Kalaupun ia sekedar menjenguk,
maka tak perlu ia harus sepanik dan sebrutal itu. Ada apa dengan dia?. Wajahnya
pun tak pernah kulihat.. Siapa dia sebenarnya?”...
Langkah kaki dimas pun seolah tak menentu. Sama seperti
pemikirannya tentang wanita berjilbab besar itu. Dan sekali lagi, untuk
apa, dan perlu apa wanita itu ada disana?? Mengapa Ia begitu panik melihat
dimas??
***
Writers by Nur Komariah