Wednesday, August 22, 2018

Jarak dan Semesta

Pictured by Pinterest
Tak akan pernah ada redam, saat malam selalu menemukan siang. Begitu pula pada jarak, sekalipun masing-masing dari kita, sulit  menemukan jalan untuk pulang. Padahal  kita sama-sama belum yakin akan kehadiran satu sama lain. Lalu pada jarak? Apa yang yang memisahkan kita?. Apakah ruang?, Waktu? atau malah dimensi yang mengharuskan kita, agar lebih baik tak memikirkannya?.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat berdialog dengan seorang kakek yang tinggal dalam sebuah bangunan tua dekat pasar, di kotaku.  Pertemuan kami, secara tak sengaja. Aku memotret langit dan gedung-gedung dalam sebuah gang, dan beberapa kali menulis di buku kecil yang ku bawa. Dari kejauhan, kakek itu tersenyum, lalu mendekat dan  menanyakan alamatku. Ia rupanya pandai menebak, bahwa aku seorang penulis.

"Melihat matamu saja, aku pun sudah tahu," ucapnya yang membuatku terkesima.

"Mengapa kau memilih bangunan tua ini, nak?. Diluar sana, banyak yang lebih bagus." tanyanya.

"Aku hanya lebih menyukai sesuatu yang kuno, kek. Entah kenapa, semua itu menarik," jawabku.

"hmm,, berarti, tandanya kamu juga menyukai semesta?

"Semesta,? apa kakek juga menyukainya?"

kakek itu tersenyum dan mengajakku duduk pada sebuah pondasi, dekat tempat kami berdiri. Ia becerita bagaimana kecintaannya pada semesta yang menghantarkannya pada mendiang istrinya.

"Beruntunglah jika kau juga turut mencintainya," ucapnya sebari memandangi langit yang perlahan berwarna abu.

"Tapi kek, bukankah aneh mencintai sesuatu yang berbeda dimensi, dari kita?"

"Hahaha, pertanyanmu lucu, nak. pantas saja kamu menyukai hal kuno. Rupanya kamu antik" tawanya membahana. Memperlihatkan guratan wajah yang menandakan bahwa ia begitu banyak tahu akan dunia.

"Semesta itu adalah Kita. Jiwa kita. Bagaimana mungkin, kita tidak mencintai jiwa kita sendiri, atau menyembunyikan perasaan itu. Bagaimana mungkin kau menganggapnya berbeda dimensi dari kita."

"Tapi..." aku terhenti.

"Kamu bicara tentang Jodoh?. Ah benar saja, kamu memang sudah pantas untuk itu"

"Bukan. Bukan itu yang ku maksud, kek. Tapi, aku tak mengerti, mengapa aku terus saja mencintai semesta, seolah-olah dia adalah bagian yang aku tunggu. Seolah-olah, dia adalah bagian dari masa depanku, yang kelak akan berwujud?"

Kakek itu memandangi langit begitu lama, lalu menarik nafas panjang. Aku diam saja. Mungkin pertanyaanku berat, atau dia tak memahami maksudku.

"Tepatnya, semesta itu bicara..." ucapnya lagi

"Bicara?..." aku mulai bingung.

"Ya. Semesta itu begitu dekat dengan hatimu. Ia berbicara disana, sehingga membuatmu yakin atas apa yang ia sampaikan. Bukankah begitu?"

"Aku kira, itu hanya delusi yang tak sengaja"

"Tidak. Aku bahkan menemukan mendiang istriku lewat semesta. Aku tak pernah mengenalnya, tak pertemu bertemu dengannya. Sampai suatu saat, entah apa yang semesta bisikkan padaku, dengan segala tanda yang ia punya."

Aku tak ingin memotong cerita sang kakek. Aku biarkan saja dia menceritakan segala hal yang sejak lama ingin ku ketahui.

"Semesta bilang, dia orang yang kakek cari."

"Apa ini soal jodoh?" Aku pun tak bisa membendung ucapanku, yang sejak tadi mengelak.

"Bukan. Tapi ini soal takdir.  Takdir yang menjadi alasan adanya semesta, dan semesta yang menunjukkan semua itu pada kita."

Hujan mulai mengguyur deras dan perlahan membasahi kami.

"Pulanglah. kau bisa sakit" ucap sang kakek.

"Tapi aku belum selesai kek,"

"Selesai itu nanti saja. Kau menyukai hujan bukan.? Tapi mencintainya tak perlu membuatmu menjadi larut. Ada masanya, tak perlu terburu-buru. Kakek pulang dulu. Sampai nanti." Ia pun berlalu.

Aku terhenyak. Lagi-lagi, kakek itu banyak tahu, termasuk kesukaanku pada hujan. Padahal,  Banyak dari bagian ini yang belum aku tuntaskan. Perihal jarak, perihal semesta, perihal keyakinan yang perlahan mulai ku pelajari dari sang kakek.

Aku pun beranjak pergi, menuju warung makan. Mungkin otakku sudah banyak bekerja, hingga perutku tak sanggup untuk bertahan lama. Bukankah mencintai tak perlu membuat menjadi larut?. yah. Itu tandanya, aku tak perlu banyak berpikir. Makan saja lebih dulu.

bersambung....
--------------------------------

Nur Komariah
23 Agustus 2018


0 comments:

Post a Comment