Maraknya citizen journalism atau jurnalisme warga dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan sejumlah pertanyaan diantara akademisi yang membahas jurnalistik sebagai kajiannya. Bagaimana bisa, seseorang yang tidak memahami jurnalistik menjadi seorang jurnalis?. Bagaimana dengan unsur dan nilai beritanya? Apakah mereka memahaminya? Dan layakkah mereka disebut sebagai jurnalis?.
Berkembangnya
citizen journalism di Indonesia, bermula ketika aceh dilanda tsunami pada tahun
2004. Seorang warga berhasil merekam detik-detik kejadian tersebut, dan hasil
rekamannya tersebar diseluruh media. Berita dari korban tersebut terbukti
mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis professional. Mungkin disinilah landasan mengapa citizen journalism semakin
berkembang. Tidak lain bahwa berita yang mereka buat begitu up to date, ditambah lagi dengan masyarakat
kita yang menginginkan berita dapat diakses dengan cepat.
Diterimanya citizen journalism dibeberapa kalangan akhirnya menyebabkan
lahirnya sebuah situs swaberita sebagi situs citizen journalism pertama di Indonesia.
Namun dengan semakin berkembangnya teknologi informasi maka akademis sepakat
bahwa kegiatan jurnalisme tidak hanya sebatas milik jurnalis professional,
melainkan warga biasa seiring dengan boomingnya media sosial.
Citizen journalism juga telah menjadi kajian akademis. Di beberapa buku
jurnalistik menjelaskan bahwa citizen journalism tidak dimaksudkan menjadikan
warga biasa menjadi wartawan professional yang dibayar oleh perusahaan media.
Layak atau tidaknya citizen journalism seharusnya menjadi pemahaman
kita, bahwa mereka hadir semata-mata untuk menyebarkan semangat berbagi
informasi sesuai minat dan bidang masing-masing orang, terlepas dari apakah
mereka memuat nilai dan unsur berita tersebut. Sebab dengan berbagi Informasi, maka
terjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang tidak terbatas wilayah,
ruang, bahkan waktu.
0 comments:
Post a Comment