Lanskap industri media di Indonesia telah berubah drastis sejak jatuhnya
pemerintahan otoriter Soeharto pada Mei 1998. Sejak saat itu, industri media di
Indonesia menjadi sangat liberal. Hal ini mempengaruhi semua jenis media massa—
termasuk koran, majalah, tabloid, stasiun radio, dan televisi serta media
Internet. Selain media lokal dan nasional, jaringan media internasional juga
cepat bermunculan di pasar Indonesia setelah sempat dilarang beroperasi selama
rezim Soeharto, yang menerjemahkan hingga 80% muatan aslinya ke dalam bahasa
Indonesia dan memberi ruang untuk menambah sejumlah konten lokal. Sebagai
perbandingan, sebelum 1998, ada 279 media cetak dan hanya lima stasiun televisi
swasta. Kurang dari satu dekade kemudian, jumlah stasiun televisi swasta
berlipat ganda (tidak termasuk sekitar 20 stasiun televisi lokal) dan jumlah
media cetak menjadi tiga kali lipat. Demikian juga dengan stasiun radio,
peningkatannya tak hanya dalam hal jumlah, tetapi mereka juga diberi ruang
lebih untuk membuat dan mengkreasikan konten, terutama berita, setelah selama
bertahun-tahun dipaksa meneruskan siaran stasiun radio pemerintah (RRI).
Kemajuan teknologi dan inovasi Internet serta pemakaiannya yang luas
juga menandai perkembangan industri media di Indonesia. Internet tidak lagi
dianggap sebagai media alternatif sejak Reformasi 1998, tetapi sudah diterima
sebagai bentuk lain media massa yang dapat dieksplorasi oleh para jurnalis dan
anggota masyarakat lainnya.
Media di Indonesia telah berubah dari yang semula sebagian besar
dikuasai publik menjadi mayoritas swasta, terutama setelah reformasi 1998 yang
sering dianggap sebagai titik balik terbesar dalam sejarah media di negara ini.
Dengan perubahan semacam ini, media harus diatur untuk memastikan karakter
publik dan kemampuannya dalam memediasi publik. Namun, dinamika dalam sektor
media tidak selalu dihadapkan dengan kebijakan yang tepat. Sering kali,
kebijakan yang ada tidak sesuai dengan praktik yang terjadi atau tidak mampu
mengikuti perkembangan konteks yang baru yang digunakan oleh media, sehingga
gagal mengantisipasi sejumlah konsekuensinya. Tinjauan singkat tentang sejarah
kebijakan media di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan media yang ada saat
ini berdinamika di sekitar dua kebijakan utama, yaitu Undang-Undang Penyiaran
(UU 32/2002) dan Undang-Undang Pers (UU 40/1999) yang merupakan produk era
reformasi. Tambahan dari dua kebijakan itu adalah, diterbitkannya Peraturan
Pemerintah (PP) 50/2005 mengenai penyiaran swasta, yang sering kali diabaikan
dalam pembahasan mengenai kebijakan media di Indonesia. Padahal, peraturan ini
sebenarnya sangat berpengaruh dalam dinamika terbaru media kita, yang
belakangan didominasi kelompok media swasta—baik dalam hal infrastruktur maupun
konten, baik yang berkontribusi dalam memperbaiki maupun memperburuk masyarakat.
Selain itu, Indonesia juga telah menyaksikan penerbitan undang-undang pertama
yang mengatur lalu lintas dan transaksi di dunia maya, UU 11/2008 mengenai
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini memuat sejumlah pasal yang
mengundang kontroversi, di antaranya Pasal 27 yang memunculkan kasus terkenal
‘Prita vs Rumah Sakit Omni’, yakni kasus seorang ibu rumah tangga yang dituntut
atas pencemaran nama baik dengan menggunakan undang-undang tersebut sebagai
landasannya.
Jelaslah bahwa kebijakan, dan segala kekurangannya, mengenai sektor
media di Indonesia tidak hanya berdampak pada perkembangan industri media
beserta infrastruktur dan kontennya, tetapi juga berpengaruh terhadap
masyarakat, di mana kebijakan itu gagal memastikan karakter publik dari media.
Bab ini menyediakan penjabaran mengenai regulasi yang ada saat ini dan
kebijakan media, termasuk kaitannya dengan industri dan nilai-nilai
politik.
Lebih lanjut, kami juga mencoba menunjukkan dampak kebijakan media terhadap hak
warga negara atas media.
Contoh Kasus
Kasus Prita
Mulyasari adalah salah satu kasus yang paling terkenal. Sama seperti sebagian
besar kasus
yang dihadapi jurnalis dan sejumlah blogger yang kritis. Ia dituntut atas kasus
pencemaran nama baik berdasarkan
sejumlah pasal ambigu dalam UU ITE 11/2008, yang menyatakan: Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (UU 11/2008 Pasal 27
Ayat 3)
.
Referensi
http://kalamkata.org/ebook/indonesian/cipg-kebijakan-media.pdf
0 comments:
Post a Comment