Wednesday, December 16, 2015

Industri Dan Kebijakan Media


Lanskap industri media di Indonesia telah berubah drastis sejak jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada Mei 1998. Sejak saat itu, industri media di Indonesia menjadi sangat liberal. Hal ini mempengaruhi semua jenis media massa— termasuk koran, majalah, tabloid, stasiun radio, dan televisi serta media Internet. Selain media lokal dan nasional, jaringan media internasional juga cepat bermunculan di pasar Indonesia setelah sempat dilarang beroperasi selama rezim Soeharto, yang menerjemahkan hingga 80% muatan aslinya ke dalam bahasa Indonesia dan memberi ruang untuk menambah sejumlah konten lokal. Sebagai perbandingan, sebelum 1998, ada 279 media cetak dan hanya lima stasiun televisi swasta. Kurang dari satu dekade kemudian, jumlah stasiun televisi swasta berlipat ganda (tidak termasuk sekitar 20 stasiun televisi lokal) dan jumlah media cetak menjadi tiga kali lipat. Demikian juga dengan stasiun radio, peningkatannya tak hanya dalam hal jumlah, tetapi mereka juga diberi ruang lebih untuk membuat dan mengkreasikan konten, terutama berita, setelah selama bertahun-tahun dipaksa meneruskan siaran stasiun radio pemerintah (RRI).
Kemajuan teknologi dan inovasi Internet serta pemakaiannya yang luas juga menandai perkembangan industri media di Indonesia. Internet tidak lagi dianggap sebagai media alternatif sejak Reformasi 1998, tetapi sudah diterima sebagai bentuk lain media massa yang dapat dieksplorasi oleh para jurnalis dan anggota masyarakat lainnya.
Media di Indonesia telah berubah dari yang semula sebagian besar dikuasai publik menjadi mayoritas swasta, terutama setelah reformasi 1998 yang sering dianggap sebagai titik balik terbesar dalam sejarah media di negara ini. Dengan perubahan semacam ini, media harus diatur untuk memastikan karakter publik dan kemampuannya dalam memediasi publik. Namun, dinamika dalam sektor media tidak selalu dihadapkan dengan kebijakan yang tepat. Sering kali, kebijakan yang ada tidak sesuai dengan praktik yang terjadi atau tidak mampu mengikuti perkembangan konteks yang baru yang digunakan oleh media, sehingga gagal mengantisipasi sejumlah konsekuensinya. Tinjauan singkat tentang sejarah kebijakan media di Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan media yang ada saat ini berdinamika di sekitar dua kebijakan utama, yaitu Undang-Undang Penyiaran (UU 32/2002) dan Undang-Undang Pers (UU 40/1999) yang merupakan produk era reformasi. Tambahan dari dua kebijakan itu adalah, diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) 50/2005 mengenai penyiaran swasta, yang sering kali diabaikan dalam pembahasan mengenai kebijakan media di Indonesia. Padahal, peraturan ini sebenarnya sangat berpengaruh dalam dinamika terbaru media kita, yang belakangan didominasi kelompok media swasta—baik dalam hal infrastruktur maupun konten, baik yang berkontribusi dalam memperbaiki maupun memperburuk masyarakat. Selain itu, Indonesia juga telah menyaksikan penerbitan undang-undang pertama yang mengatur lalu lintas dan transaksi di dunia maya, UU 11/2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini memuat sejumlah pasal yang mengundang kontroversi, di antaranya Pasal 27 yang memunculkan kasus terkenal ‘Prita vs Rumah Sakit Omni’, yakni kasus seorang ibu rumah tangga yang dituntut atas pencemaran nama baik dengan menggunakan undang-undang tersebut sebagai landasannya.
Jelaslah bahwa kebijakan, dan segala kekurangannya, mengenai sektor media di Indonesia tidak hanya berdampak pada perkembangan industri media beserta infrastruktur dan kontennya, tetapi juga berpengaruh terhadap masyarakat, di mana kebijakan itu gagal memastikan karakter publik dari media. Bab ini menyediakan penjabaran mengenai regulasi yang ada saat ini dan kebijakan media, termasuk kaitannya dengan industri dan nilai-nilai
politik. Lebih lanjut, kami juga mencoba menunjukkan dampak kebijakan media terhadap hak warga negara atas media.

Contoh Kasus
Kasus Prita Mulyasari adalah salah satu kasus yang paling terkenal. Sama seperti sebagian
besar kasus yang dihadapi jurnalis dan sejumlah blogger yang kritis. Ia dituntut atas kasus  pencemaran nama baik berdasarkan sejumlah pasal ambigu dalam UU ITE 11/2008, yang menyatakan: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan  dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik  yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (UU 11/2008 Pasal 27 Ayat 3)
.

Referensi
http://kalamkata.org/ebook/indonesian/cipg-kebijakan-media.pdf

0 comments:

Post a Comment